Mahkamah Konstitusi: Puritankah?


Oleh: Lukman Abdurrahman

 

mUZDALIFAH_12Pendahuluan

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga tinggi negara yang lahir belakangan paska kejatuhan Rezim Orde Baru.  MK dihasilkan melalui rangkaian amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001. Hasil amandemen tersebut dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B UUD 45 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001.

Selanjutnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah menyusun dan menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari setelah itu, yakni pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 melantik hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.

Adapun gagasan pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20.  MK adalah lembaga negara pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi demi tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita-cita negara hukum dan demokrasi untuk kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. MK merupakan salah satu wujud gagasan modern dalam upaya memperkuat usaha membangun hubungan-hubungan yang saling mengendalikan dan menyeimbangkan antar cabang-cabang kekuasaan negara.

Check and Balance

Paska era Orde Baru ada tuntutan masyarakat yang demikian kuat untuk memaknai kembali kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih bermartabat.  Artinya peran negara harus mengayomi kehidupan warganya demi tercipta cita-cita luhur kehidupan kebangsaan seperti tertuang di dalam Pembukaan UUD 45. Oleh karenanya, tuntutan perubahan UUD 45 menjadi keniscayaan dan harus digulirkan karena juga didasarkan pada pandangan bahwa UUD 45 tidak cukup memuat sistem checks and balances antar para pemegang pemerintahan (lembaga negara). Hal ini diperlukan  untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan atau suatu tindak melampaui wewenang.

Selain itu, UUD 45 tidak cukup memuat landasan bagi kehidupan demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Aturan UUD 45 juga banyak yang menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan yang otoriter, sentralistik, tertutup, dan penyimpangan lainnya Tuntutan tersebut kemudian diwujudkan dalam empat kali perubahan UUD 45.

Perubahan Pertama, dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999, terkait dengan pembatasan kekuasaan Presiden dan penguatan kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif. Perubahan Kedua dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2000, meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci hak asasi manusia.

Perubahan Ketiga ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001, meliputi ketentuan tentang asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang pemilihan umum. Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Materi perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan

Dengan demikian tidak ada lagi lembaga tertinggi negara, yang sebelum perubahan UUD 45, lembaga tersebut menjelma pada MPR. Sekarang MPR dimasukkan sebagai kelompok lembaga tinggi negara, sejajar dengan DPR, Presiden, BPK, MA dan sebagainya.  Oleh karena itu terdapat kesetaraan kelembagaan.  Namun demikian antar lembaga tersebut akan terjadi interaksi fungsi pengawasan dan penyeimbangan.  Hubungan kelembagaan yang saling mengontrol dan mengimbangi tersebut tentunya memungkinkan terjadi sengketa antar lembaga negara tersebut, khususnya yang terkait dengan kewenangan konstitusional. Karenanya, dibutuhkan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara tersebut.

Peran Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan ketentuan perubahan UUD 45, MK merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, MK adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 45.

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/2003, kewenangan MK adalah:

  • Menguji undang-undang terhadap UUD 45;
  • Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 45;
  • Memutus pembubaran partai politik; dan
  • Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah:

  • Memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 45.

Komplemen Mahkamah Konstitusi

Fungsi dan peran MK sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena denyut hukum di Indonesia ‘bisa’ diatur oleh MK. Dapat dibayangkan, misalnya, sebuah Undang-Undang yang lama dipersiapkan atas masukan dari Pemerintah atau inisiatif DPR sendiri atau inisiatif keduanya, dapat dibatalkan oleh MK hanya dengan ‘ongkos’ relatif sangat murah.  Kita ketahui jumlah hakim MK hanya 9 (sembilan) orang.  Waktu dan ongkos pemrosesan perkara memang relatif, demikian pula yang mengajukan judicial review dapat sekelompok orang atau satu dua orang atas nama sendiri atau atas nama orang banyak lainnya, yang pada dasarnya tidak terlembagakan seperti DPR. Padahal DPR bersama pemerintah yang menyiapkan dan mengesahkan Undang-Undang tersebut terdiri lebih dari 550 orang.  Pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) pun memakan waktu, biaya, tenaga dan sumber daya lain cukup banyak.  Sering terjadi perbenturan kepentingan dalam penyusunan RUU tersebut, sehingga dibutuhkan kompromi-kompromi politis antar para pemangku kepentingan yang membutuhkan energi supaya RUU mulus digulirkan menjadi Undang-Undang.  Dengan kata lain sumber daya perasaan pun seperti kebesaran jiwa, kenegarawanan dan lain-lain tidak sedikit yang terkuras untuk menghasilkan sebuah Undang-Undang.

Dalam hal ini maka diperlukan pengawasan yang ketat terhadap lembaga MK tersebut, agar kewenangan yang telah disandangnya tidak disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan di luar koridor keadilan hukum.  Karena sekali saja MK menyalahgunakan kewenangannya, maka yang akan menanggung akibatnya adalah sistem hukum Negara Indonesia.  Artinya, kewibawaan hukum negara akan merosot, padahal negara ini jauh-jauh hari telah menyatakan diri sebagai negara hukum sesuai UUD 45, karena hanya dengan itu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dapat diwujudkan.

Bahwa bisa saja sebuah Undang-Undang hasil DPR dan Pemerintah tidak berpihak pada prinsip keadilan dihasilkan, kemudian harus dibatalkan oleh MK, itu sah-sah saja sesuai peran dan fungsi MK. Namun sekalipun demikian MK tetap saja harus dikawal supaya tetap berdiri dan bertugas sebagai penyeimbang kemungkinan ketidakadilan yang akan terjadi dalam sistem hukum Indonesia.  Bagaimana pun kekuasaan MK sangat besar, jika tidak dikawal, kekuasaan itu cenderung disalahgunakan seperti pepatah berikut, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” (Lord Acton, 1887).

Untuk pelengkap atau komplemen MK dalam rangka menjalankan tugasnya, setidaknya dibutuhkan tiga macam pelengkap yang berfungsi mengedalikan MK secara preventif, detektif dan korektif:

  • Saat ini pengendalian yang bersifat preventif untuk mengontrol MK sudah ada, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-undang ini merupakan komplemen terhadap keberadaan MK secara preventif, karena di dalamya telah diatur dan ditata hak dan kewajiban lembaga MK tersebut termasuk selurh jajaran yang mengawakinya.   Kontrol jenis ini bersifat pasif, walaupun tetap sangat berguna sebagai rambu-rambu dalam perlintasan proses pemutusan perkara oleh MK, sehingga para hakim khususnya sudah memperoleh pedoman sebelumnya dalam memutus perkara.
  • Pelengkap MK yang melakukan fungsi detektif harus berupa sebuah Dewan Etika MK, supaya memiliki kewenangan memaksa (saat ini belum ada). Dewan Etika harus bertugas mengawal proses pemutusan perkara (Undang-Undang atau hasil Pemilihan Umum) sejak awal sampai menjelang pembuatan keputusan.  Dewan Etika berfungsi lebih sebagai konsultan etika dan tidak boleh berurusan dengan substansi perkara, yakni terkait dengan perilaku para hakim dalam berhubungan dengan mereka yang berperkara.  Sumber nilai etika dapat diambil dari berbagai pedoman, misalnya Pancasila sebagai dasar negara dengan penafsirannya, Pembukaan UUD 45, batang tubuh UUD 45, nilai-nilai kearifan lokal bangsa dan lain-lain.  Namun secara ringkas butir-butir etika berikut dapat menjadi tolok ukur kinerja hakim konstitusi (meminjam kode etik menurut The Institue of Internal Auditors):
    • Integritas, yakni berpihak pada kebenaran dan memutuskan perkara karena kebenaran tersebut,
    • Objektivitas, dalam memutus perkara tidak dipengaruhi kepentingan pribadi atau pihak lain,
    • Konfidensialitas, memelihara informasi secara baik dan tidak membocorkan kepada sembarang pihak yang tidak terkait dan
    • Kompeten, memiliki keterampilan, pengetahuan dan pengalaman yang mendukung tugas yang diembannya.

dapat menjadi ukuran penilaian perilaku seorang hakim MK oleh Dewan Etika.

  • Pelengkap MK secara korektif yang bertugas memonitor dampak putusan perkara yang dihasilkan MK itu sendiri. Yang melakukan fungsi ini seharusnya adalah DPR sebagai representasi rakyat Indonesia. Dalam hal ini, DPR sebagai pihak yang memproduk Undang-Undang dan kemudian dianulir oleh MK, akan lebih mengetahui dampak yang terkait dengan putusan MK tersebut.  Namun supaya efektif, fungsi korektif DPR harus diwakili oleh komisi yang membidangi hukum, dan secara khusus fungsi korektif terhadap putusan MK harus diemban oleh tim tersendiri dari komisi hukum tersebut.  Hal yang dapat dikerjakan oleh tim korektif adalah mengolah dampak putusan MK dimaksud, artinya jika putusan tersebut menimbulkan ketidakadilan hukum pada khalayak banyak, maka tim korektif harus mengusulkan kepada DPR untuk merehabilitasi putusan tersebut, misalnya.   Cara yang dilakukan dapat melalui amandemen Undang-Undang dan lain-lain.

Kesimpulan

Keberadaan MK adalah tuntutan zaman yang tidak bisa dielakan. MK sejajar dengan lembaga tinggi negara lain seperti MPR, DPR, Presiden, MA dan BPK.  MK berfungsi memutus perkara terkait Undang-Undang dengan cara dibandingkan dengan UUD 45, yang mungkin dapat terjadi akibat interaksi lembaga-lembaga tinggi negara tersebut atau hal lain.

Dalam menjalankan fungsinya – sebagaimana lembaga tinggi negara lain – MK harus dikawal melalui sejumlah kelengkapan kelembagaan.  Kelengkapan ini berupa fungsi kendali yang meliputi kendali preventif, detektif dan korektif.

Fungsi kendali preventif adalah seperangkat peraturan atau Undang-Undang terkait penyelenggaraan MK.  Sedangkan fungsi kendali detektif harus berupa lembaga seperti Dewan Etika MK yang memiliki kewenangan menguji etika dan perilaku MK, khususnya para hakim konstitusi dalam berurusan dengan proses pemutusan perkara dan mereka yang berperkara. Dewan Etika harus memiliki kewenangan memaksa sehingga memiliki wewenang menjatuhkan sanksi kepada siapa pun yang melakukan pelanggaran.  Sedangkan fungsi kendali korektif harus dipegang oleh DPR, karena merupakan pihak yang memproduksi Undang-Undang sehingga diharapkan lebih mampu menilai dampak putusan MK yang menganulir keseluruhan/ sebagian Undang-Undang tersebut, mengingat DPR diasumsikan memahami filosofi/ jiwa Undang-Undang tersebut.

Referensi

  1. Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3, Juni 2010.
  2. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1, diakses tgl 12 Maret 2014
  3. The Quotation Page, http://www.quotationspage.com/quote/27321.html, diakses tanggal 13 Maret 2014.
  4. Standards and Guidence: Code of Ethics, https://na.theiia.org/standards-guidance/mandatory-guidance/Pages/Code-of-Ethics.aspx, diakses tanggal 13 Maret 2014

Leave a Reply