Ikhlas: indikator kualitas diri seorang Muslim


Oleh:

Lukman Abdurrahman

Ikhlaash (baca: ikhlas) adalah mashdar atau kata dasar dari kata kerja akhlasha-yukhlishu-ikhlaash. Yang pertama adalah kata kerja masa lampau (fi’il madli) dan yang kedua adalah kata kerja kini dan yang akan datang (fi’il mudlaari’). Artinya, kata ikhlas bisa terikat dengan kerangka waktu tergantung kapan keikhlasan itu dilakukan. Kata ikhlas menjadi kata penting dalam kehidupan kita sehari-sehari karena kata ini bisa menjadi ukuran ketulusan hati dalam melakukan suatu tindakan, baik tindakan itu untuk diri sendiri, terhadap orang lain dan lingkungan, bahkan terhadap Allah Ta’aalaa sekalipun. Dengan kata lain, ikhlas merupakan sikap hati atas tindakan yang dilakukan anggota badan yang lain, seperti mulut, tangan, kaki, mata, telinga dan bahkan hati sendiri. Apakah sikap hati itu penuh, setengah atau tidak ada kerelaan atas apa yang dilakukan? Memang secara kasat mata akan sulit menilai tingkat keikhlasan tersebut, tetapi akibat keikhlasan akan terasa nyata dalam hasil perbuatan. Sebagai contoh, ketulusan seorang ibu dalam merawat anaknya, akan nampak nyata pada perilaku anak, apakah ia diperlakukan sepenuh cinta atau dirawat sekedarnya saja.

Demikian pula, kata ikhlas bisa menjadi ukuran keberislaman seseorang sehingga setidaknya ada tiga istilah untuk penggambaran tersebut. Istilah pertama adalah mukmin (orang yang iman), menunjukkan ketulusan hati sesorang untuk percaya terhadap Allah SWT dengan sungguh-sungguh. Kedua adalah munafiq, yakni seseorang yang hatinya tidak tulus penuh beriman kepada Allah SWT, namun berada di antara iman dan kufur. Ketiga adalah kaafir, yaitu sikap hati seseorang yang sama sekali tidak meyakini kekuasaan bahkan keberadaan Allah SWT dan segala yang datang dari-Nya. Dari masing-masing tiga istilah tadi, dapat diturunkan istilah-istilah lain guna penggambaran tingkatan masing-masing keikhlasan hati tersebut. Misalnya, dari kata mukmin bisa dijumpai kata mukhlish, seorang mukmin yang ikhlas. Kata lainnya, muwahhid, seorang mukmin yang sangat kuat memegang ajaran tauhid, kemahaesaan Allah SWT. Ada pula kata muhsin, seorang mukmin yang sangat baik keimanannya sehingga jika ia beribadah seolah-seolah melihat Allah dan kalaupun tak mampu membayangkan melihat Allah, ia yakin Allah SWT melihatnya. Dan tentu saja masih ada beberapa istilah lainnya.

Adapun dari istilah munafiq, ada beberapa istilah lain yang merefleksikan suasana hati tersebut. Misalnya, kata dhaalim (dari kata dhulm, artinya gelap), menggambarkan seorang yang hatinya gelap sehingga tidak mampu membedakan yang seharusnya dengan yang tidak seharusnya. Sebagai contoh, menyembah Allah SWT adalah sesuatu yang niscaya, namun orang dhaalim masih terkelirukan dengan menyembah dirinya, dst. Istilah lainnya adalah faasiq dari kata fisq, artinya keputusasaan. Kata ini ditujukan kepada orang yang diperintahkan taat pada hukum Allah SWT namun mereka menolak mentaatinya bahkan mengingkari terhadap sebagian maupun keseluruhan hukum itu dan sebagainya.

Dari kata kaafir, ada istilah-istilah lain yang menggambarkan suasana hati yang sama sekali tidak tulus menerima apa pun dari Allah SWT. Diantaranya adalah kata musyrik dari kata syirk, artinya penyekutuan. Orang musyrik memiliki kepercayaan kepada banyak tuhan, walau diantaranya percaya juga kepada Allah SWT atau sama sekali hanya percaya kepada kekuatan-kekuatan selain Allah SWT. Dengan kata lain, orang musyrik menolak alias kafir terhadap kemahaesaan Allah SWT.

Bagi kaum muslim, dengan sangat terang Allah SWT berfirman dalam surah Al-Bayyinah 5, “Dan tiadalah mereka diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan juga agar mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Dan demikian itulah agama yang lurus”. Ayat ini perintah bagi kita untuk ikhlas sebagai seorang Muslim.


Leave a Reply