Adakah sosok presiden dan wakil presiden idaman?


Oleh: Lukman Abdurrahman

Tahun 2019 adalah tahun pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kota/ Kabupaten, DPD dan Presiden. Dari kelima pemilihan itu, pemilihan presiden adalah yang paling menyedot perhatian masyarakat. Betapa tidak? Karena pemilihan presiden hanya terpusat kepada dua figur pasangan calon (paslon), sehingga perhatian publik sangat mudah terarahkan, berbeda dengan calon-calon peserta pemilihan lainnya. Disamping itu posisi presiden dan wakil presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi di negeri ini sehingga rasa penasaran publik terhadap calon-calon pemimpinnya demikian besar tentang arah kepemimpinan dan tujuan bangsa lima tahun ke depan, akan mereka kemudikan ke mana?

Oleh karenanya, adalah wajar jika para paslon akan menjadi buah bibir masyarakat terkait dengan impian mereka akan para calon pemimpinnya. Terlihat, misalnya, pada tanggal 17 Januari dan 17 Pebruari 2019 lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menggelar debat putaran pertama dan kedua para paslon presiden dan wakil presiden ini. Berseliweran komentar yang dilontarkan anggota masyarakat terkait penyelenggaraan, tampilan para paslon, materi yang didebatkan, termasuk cara para paslon menjual dan memformulasikan gagasan-gagasannya, juga cara mereka menangkis ‘serangan’ lawan debatnya. Memang penggelaran debat bisa menjadi cara masyarakat untuk menilai para calon pemimpinnya, namun debat hanya salah satu dan bukan satu-satunya cara menimbang dan menakar kemampuan calon-calon pemimpin tersebut. Namun sekali lagi, ingar bingar tanggapan publik terhadap debat ini makin menunjukan betapa besar perhatian mereka terhadap pemilihan yang satu ini.

Di sisi lain, hal ini harus menjadi perhatian para paslon bahwa antusiasme publik wajib disambut dengan sepenuh kesungguhan mereka dan tim suksesnya. Sebagai contoh, para paslon wajib menampilkan sikap orisinal mereka di hadapan publik tanpa mengesampingkan tim suksesnya, sehingga rakyat bisa memahami sikap integritas para calon pemimpinnya. Demikian pula KPU jangan terlalu gagap menampilkan para kontestan tersebut di perhelatan debat, misalnya, sehingga tidak terkesan disutradarai baik oleh KPU maupun tim suksesnya. Biarkan mereka tampil alamiah sealamiah pikiran para pemirsa debat itu sendiri. Dengan demikian, keterpilihan para calon pemimpin negeri ini nantinya mencerminkan kedaulatan rakyat sesungguhnya yang telah dijamin konstitusi dan kelayakan asli pemimpinnya.

Sehubungan dengan hal-hal di atas, tulisan ini bermaksud menyuarakan impian penulis, boleh jadi mewakili para pembaca pula, terkait presiden dan wakil presiden Indonesia yang harus memimpin negeri tercinta ini. Seperti disampaikan Lyman MacInnis (2009) dengan the triangle of success, bahwa guna memperoleh keberhasilan termasuk dalam kepemimpinan dibutuhkan segitiga kesuksesan. Ada tiga sisi sukses, yakni knowledge (pengetahuan), skills (keterampilan) dan attitude (sikap) guna membentuk jalan menuju keberhasilan. Sisi pertama, pengetahuan adalah modal dasar bagi seorang presiden dan wakilnya, yakni berupa pemahaman yang sangat baik terhadap pelik-pelik bangsa dan negara Indonesia baik yang bersifat makro maupun mikro. Agak sulit untuk mengukur tingkat pengetahuan para paslon tentang Indonesia ini, memang. Namun setidaknya, visi, misi dan program kerja mereka bisa mewakili pengukuran sisi pengetahuan ini. Lebih lanjut, penguasaan pengetahuan yang baik tersebut harus nampak saat para paslon menyapa dan berkomunikasi dengan para calon pemilihnya baik lewat kampanye, debat, audiensi dan lain-lain. Dengan kata lain, harus ada keselarasan antara formula-formula rencana kerja tertulis dengan rencana kerja terucap sebagai ukuran konsistensi pemahaman mereka terhadap kondisi bangsa.

Lebih dari itu, ukuran sisi pengetahuan bagi para paslon harus pula dilihat dari daya linuwih yang menjadi alasan mereka menyiapkan diri menjadi pemimpin bangsa. Daya linuwih yang dimaksud terkait dengan landasan filosofis kesediaan mereka maju bertarung, bahwa pertarungan yang akan dihelat tidak sekedar untuk memenangkan kepemimpinan lima tahun kepresidenan. Para paslon yang berpengetahuan, mesti pula harus paham bahwa pertarungan pun akan punya dampak paska lima tahun kepemimpinan sang pemenang dan paska kehidupannya kini. Artinya, tapak kekuasaan kepresidenan harus bervisi jauh ke depan sampai di kehidupan akhirat sekalipun, karena cara tersebut akan secara tajam memberi arah kerja kepemimpinan amanah sejati, tidak saja sebagai pengabdian kepada bangsa tapi pula kepada Ilahi dengan segala konsekuensinya. Pengetahuan seperti ini harus nampak di dalam diri para paslon yang dapat tercermin dari cara menganalisa dan mensintesa masalah, dialektika, sandaran transenden, wawasan pertanggungjawaban dan lain-lain.

Yang paling penting dari sisi sukses pengetahuan adalah para paslon harus paham betul bahwa berbohong, mengingkari janji, hipokrit dan selera-selera rendah menipu hanya untuk menang semata sangat terlarang bagi presiden dan wakilnya. Mengapa? Pengetahuan mengenai hal tersebut akan menyelamatkan diri para paslon dan sekaligus rakyat yang dipimpinnya dari bencana air bah demokrasi yang dapat meluluhlantakkan hasil-hasil hajatan bermodal sangat besar tersebut menjadi chaos. Di sisi lain, paslon tidak akan asal mengumbar janji, namun penuh perhitungan dengan kemampuan merealisasikannya. Pula, pengetahuan ini dapat mendidik rakyat hidup wajar di alam rasional yang pada gilirannya dapat menurunkan biaya demokrasi baik finansial, politik atau sosial mengingat simpangan-simpangan pemilihan umum dapat tertekan dengan sendirinya. Maka diskursus tersebut pas dengan ungkapan, “Barangsiapa yang menginginkan dunia maka hendaklah dengan ilmu. Barangsiapa yang menginginkan akhirat, maka hendaklah dengan ilmu. Barangsiapa yang menginginkan keduanya, maka hendaklah dengan ilmu.” (Imam Asy-Syaafi’i).

Sisi sukses kedua adalah keterampilan yang menggambarkan kemampuan kepemimpinan yang tercermin dalam kapasitas dan kapabilitas. Kapasitas memperlihatkan muatan pengetahuan yang bisa menjadi landasan menjalankan kepemimpinan. Dengan kata lain, kapasitas adalah kelanjutan penguasaan pengetahuan di atas sebagai modal untuk trampil sehingga saat dipraktekkan menjadi kapabilitas sang calon pemimpin dalam menjalankan amanah yang diembannya. Sisi ini terkait pula dengan jam terbang para paslon pada tahapan-tahapan hidup sebelumnya dalam pelbagai bidang seperti ekonomi, birokrasi, sosial, politik, budaya dan lain-lain. Umumnya, makin tinggi jam terbang, makin kaya pengalaman dan keterampilan yang dimiliki. Walau demikian, hal tersebut tidak menjamin selalu berbanding lurus antara pengalaman dan keterampilan karena ada faktor lain, diantaranya tingkat kecerdasan emosi yang lambat matang.

Lebih dari itu, keterampilan sesungguhnya yang paling dibutuhkan adalah kemampuan merealisasikan visi, misi dan program kerja yang telah diusung saat deklarasi sebagai kontestan capres dan cawapres. Tentu keterampilan ini bisa menjadi ukuran kapasitas dan kapabilitas paslon sehingga kampanye yang telah dan sedang dilakukan bukan sekedar pemanis, tapi adalah tekad untuk beramal shalih menebar manfaat dan kemaslahatan di kalangan umat yang lebih luas, yakni bangsa Indonesia sebagai perwujudan ibadah juga kepada Tuhan. Realitas yang nampak di negeri tercinta Indonesia, keterampilan ini masih miskin dimiliki para pemimpin baik tingkat regional maupun nasional. Janji-janji yang telah ditebar saat kampanye, berkebalikan dengan realisasi saat telah terpilih dan memimpin. Yang terjadi lebih banyak paradoks antara janji kampanye dengan program nyata sang pemimpin. Misal sekedar menyebut sedikit contoh, janji swasembada pangan, yang dipertontonkan di tengah-tengah rakyat adalah impor bahan-bahan pangan sekalipun saat panen raya bahan tersebut. Janji menyejahterakan tenaga kerja, yang diberi kesempatan sejahtera justru tenaga kerja asing. Demikian pula, terdapat aturan pimilihan presiden dengan pengharaman ujaran kebencian dan larangan menyebar hoaks, yang terjadi di khalayak ada salah satu corong paslon menyebar tabloid beraroma kebencian pada pihak lain ditebar ke masjid-masjid (Asep Dudi S, PR Sabtu 19 Januari 2019).

Sisi ketiga dari the triangle of success adalah sikap. Sebagai pelengkap pada sisi ketiga keberhasilan sang pemimpin, sikap harus memadukan antara pengetahuan dan keterampilan, yaitu harus terjadi keselarasan antara pengetahuan dan keterampilan pada sikap yang akan diperbuat. Dengan kata lain, sikap paslon presiden dan wakilnya mesti mampu menyatukan perkataan dengan tindakannya melalui komitmen yang kuat sebagai sikap integritasnya kepada bangsa. Sikap yang dimaksud di sini tentu pula sikap orisinal sang paslon pada pelbagai persoalan kehidupan bangsa. Bahwa para paslon didukung oleh tim suksesnya, bukan berarti paslon harus menihilkan sikap asli mereka. Biar saja tim sukses ikut membantu merumuskan persoalan yang berbagai-bagai itu, namun semua itu sejatinya hanya terjemahan dari suara nurani paslonnya.

Sikap integritas paslon bakal merefleksikan jati diri mereka sesungguhnya yang sangat dibutuhkan sebagai atribut utama para pemimpin bangsa. Sikap ini di dalamnya mewakili sikap-sikap kejujuran, kedisiplinan, konsisten antara ucapan dan tindakan, serta berkarakter kuat. Pada gilirannya, sikap-sikap tersebut yang dapat menjadi mesin penghantar perahu besar bangsa Indonesia berlayar aman sentosa walau berhadapan dengan badai besar samudra kehidupan dunia. Untuk mengukurnya, sikap ini dapat dilihat dari rekam jejak sang paslon, apakah terdapat kelainan sikap antara sebelum menjadi paslon dengan setelah masuk arena paslon, apakah rekam jejak sebelumnya mengukir jejak integritas paslon atau malah sebaliknya dan seterusnya. Rakyat dapat dan harus mengetahui hal tersebut agar transaksi yang akan digelar memenuhi kaidah transparansi dan ‘teliti sebelum membeli’. Ini sesungguhnya yang ingin disasar paradigma demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui pemilihan langsung tersebut. Kang Jeng Nabi Muhammad SAW bersabda, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim). Siapkah para paslon menjadi pelayan rakyatnya?


Leave a Reply